Sabtu, 07 April 2018

Angin Bulan Desember


Mei Linda Anggraini

Angin Bulan Desember
Cinta yang dipisahkan oleh jarak memang menyakitkan. Cemburu, rindu, dan kesepian selalu menghampiri. Pagi itu aku sedang duduk di teras rumah sambil menunggu Dia datang. Tidak berselang lama dia pun datang ke rumah dengan membawa makanan yang aku sukai.
"Abang, dari mana," tanya ku.
"Abang habis membelikan makanan kesukaan mu Dik, "jawabnya.
"Kenapa Abang repot-repot bawakan makan untuk Adik."
"Tidak apa-apa Dik."
"Silahkan masuk Bang."
Akhirnya kami pun masuk ke dalam rumah. Kami berbincang-bincang dan bercanda. Beberapa menit kemudian suasana menjadi hening dan sepi.
"Dik, Abang ingin membicarakan suatu hal yang penting ke Adik, Adik jangan marah ya."

Hati ku rasanya  gemetar tidak karuan. Sebuah tanya terucap dari bibirku.
"Abang, mau tanya apa ke Adik."
"Adik, kalau seandainya Abang pergi jauh dari Adik, apakah Adik bersediah menunggu Abang."
"Memangnya Abang mau ke mana Bang, kok bilang seperti itu."
"Adik, Abang kan sudah tidak bekerja lama, Abang di ajak oleh tetangga Abang bekerja tapi...."

Abang terdiam dan memikirkan sesuatu. Aku pun bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan oleh Abang. Aku pun bertanya kepadanya.

"Ada apa Bang, mengapa Abang terdiam."
"Begini Dek, Abang mendapatkan pekerjaan di luar pulau Jawa."

Aku terdiam tanpa kata. Dia Melihat mataku yang berkaca-kaca dan penuh dengan tanya.
"Abaang mau ke mana?"
"Abang harus bekerja di Kalimantan, Dik."
"Haaaa, Kalimantan Bang."
"Iya Dik, kamu tahu sendiri Abang menjadi penganguran sejak lama, Abang ingin membiayai keluarga Abang Dik."

Air mata perlahan menetes di pipiku, dan Dia pun menghapus setiap butiran air mata yang mengalir. Rasa takut kehilangan pada saat itu jelas terasa. Aku tidak ingin jauh darinya. Namun, Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mau tidak mau aku harus menerima keputusannya, karena Dia memiliki tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga.
" Abang, berapa lama di Kalimantan."
"Sekitar tiga bulan, Dik"

Dengan terpaksa Aku harus mendukungnya. Agar Dia dapat memperbaiki perekonomian keluarganya.
"Pergilah Bang, Adik izinkan Abang untuk pergi, asalkan Abang berjanji kepada Adik."
"Berjanji apa Dik."
" Abang harus berjanji selalu setia pada Adik."
"Tentu saja Dik, Abang hanya mencintaimu. Di mana pun Abang berada, Adik  selalu ada di hati Abang."
"Abang jangan bercanda Bang, Aku takut Abang akan melupakan janji Abang."

Dia pun memegang tanganku. Matanya penuh kesungguhan dan berusaha meyakinkanku.
" Abang janji Dik, selama di sana Abang akan menelpon dan mengirim pesan ke Adik.

Pada waktu itu Wa, BBM, atau yang lainnya masih belum ada yang ada hanya mengirim pesan dan telepon. Dia memegang taganku dan menatap mata ku dengan penuh kasih. Dia berjanji tidak akan mencintai perempuan lain di sana. Setelah berhasil meyakinkan ku Dia pun berpamitan  pulang karena hari senakin sore.
" Sudah sore Dik, Abang pulang dulu ya."
"Iya Bang, terimakasih ya Bang sudah dibawakan makanan."

Jarak rumah kami tidaklah jauh. Kami berdua sama-sama tinggl di desa, Rt, dan Rw yang sama. Yang membedakan hanya nomor Rumah saja. Beberpa hari kemudian tepatnya di Bulan Desember perpisahan itu terjadi. Hati ku berkata agar Dia tidak pergi.  Namun, piliranku berkata lain. Pikiranku mengatakan agar membiarkannya pergi untuk memeperbaiki perekonomiannya. Pagi, sekitar pukul 07.00 sebuah sepeda motor terparkir di sebelah rumah. Seseorang mengetuk pintu rumahku. Mendengar pintu rumah yang diketuk Aku pun membukanya. Betapa terkejutnya Aku yang ada di depan pintu itu adalah Abang.
" Abang, kenapa Abang ke sini tidak bilamg-bilang."
"Iya Dik, Abang ke sini untuk pamit."
" Abang jadi pergi hari ini?" Tanyaku.
"Iya Dik, tiket Abang sudah siap dan pukul 09.00Abang akan berangkat."
" Tanpa kata-kata aku memeluknya."

Suatu hal yang paling menyakitkan adalah melepaskan orang yang kita cintai pergi jauh. Perpisahan sudah di pintu. Tanpa sadar ketika aku melihatnya air mata ku menetes. Rasa takut tidak bisa di tutupi lagi. Namun, Dia berusaha menenangkan hatiku yang sedang dirundung ketakutan.
" Sudah Dik, kalau sedih, terus Abang tidak akan bisa tenang untuk meninggalkanmu sendiri."
Perlahan Aku menenangkan diriku. Aku berusaha tersenyum di depannya, walaupun sebenarnya hatiku terluka.
" Adik akan  berusaha tabah Bang, Abang jaga diri baik-baik di sana, jangan lupa selalu memberikan kabar ya Bang."
" Iya, Adikku tersayang."
"Abang janji akan terus memberikan kabar ke Adik."

Waktu begitu cepat berlalu. Tiba saatnya Dia harus pergi. Aku peluk rapat-rapat tubuhnya, sambil menagis di dadanya. Setelah pelukan perpisahan itu Dia pin meminta izin untuk berangkat.
" Abang berangkat ya Dik, jaga dirimu baik-baik selama Abang pergi. Abang tidak bisa jagain Adik, untuk beberapa bulan ke depan."
"Iya Abang, Adik akan jaga diri baik-baik. Abang juga jaga diri, jaga kesehatan, dan yang terutama jaga kesucian cinta kita ya Bang."
Dia tersenyum mendegar perkataanku. Akhirnya Dia pergi dengan sepedanya. Aku berikan senyuman yang sebenarnya menandakan duka. Perlahan jejaknya mulai terhapus angin. Aroma tubuhnya, suaranya, dan wajahnya samar oleh jalan. Ku melambaikan tangan dan berdoa dalam hati
"Semoga kita bisa bertemu lagi Bang."
Angin bulan Desember benar-benar telah membawanya pergi jauh. Dia orang yang ku kasihi telah jauh dariku. Duniaku terasa sepi ketika, jejaknya mulai terhapus oleh angin.  Angin bulan Desember membawanya pergi ke tempat asing. Meninggalkan duka bagi orang-orang yang menyayaginya. Ibu, kakak,adik, dan kekasihnya. Setelah ke pergiannya Aku duduk termenung sendiri. Suara adzan telah berkumandang. Aku mengambil mukena dan sajadah bergegas ke musholah untuk sholat. Aku berjudud di atas sajadah biru di bawah langit-langit mushalah. Ku tadahkan kedua tangan dan berdoa semoga kekasihku dijauhkan dari bahaya.
Hari sudah semakin malam. Namun, kabarnya juga belum terdegar. Hati ku merasa gunda gulana. Memikirkan apakah Dia sudah samapai di tempatnya dengan selamat. Lima menit kemudian terdengar suara telepon dari hpku. Itu adalah Dia. Yah..orang yang sedang ku cari. Ku tekan tombol hijau dan suaranya terdengar dengan indah.
"Assalamualaikun Adik."
"Waalaikum salam Abang."
"Abang sudah sampai Dik."
" Abang kok baru ngasih kabar. Abang dari mana?"
'Adik sangat kawatir Bang."
'Maaf, Adikku sayang, Abang baru sampai di tempat, tempat kerjanya cukup jauh dari kota.”

“Iya Abang, Abang cepat telpon Ibu, takutnya Ibu kawatir.”
“Sudah Dik, tadi Abang sudah telepon Ibu.”
“Abang mandi dulu sana, biar baadan Abang segar kembali.”
“Iya Adik, Abang mandi dulu ya, Abang tutup telponnya  nanti kita sambung lagi.”

Baru pertama kali Aku merasa separuh hatiku pergi. Suaranya masih terdengar jelas di ruangan ini. Sudah saatnya Aku harus sadar bahwa Dia telah pergi untuk bekerja. Semuannya demi kebaikan hidupnya dan kebaikanku. Aku terpaksa menahan tangis ketika berbincang dengannya.

Keesokan harinya, Aku mendapat panggilan untuk wawancara kerja di pabrik roti. Aku juga ingin mencari pekerjaan sambil mengumpulkan uang untuk melanjutkan Pendidikan S1.  Waktu itu juga Dia tengah bersiap untuk kerja. Sebelum bekerja Dia menyempatkan waktu untuk menelponku.

“Selamat pagi Adikku sayang.”
“Selamat pagi Abangku sayang, apakah Abang sudah siap-siap bekerja, tanyaku.”
 “ Abang baru mulai bekerja pukul 08.00 Dik.” “ Hari ini Adik ada wawancara pekerjaan Bang, doain Adik ya Bang.”
“ Wawancara di mana Dik, terus sama siapa, tanyanya dengan heran.”
“Wawancara di pabrik roti Bang, Adik wawancara sendiri.”
“Maafin Abang ya Dik, Abang tidak bisa mengantarmu, Abang hanya bisa mendoakanmu dari jauh.”
“Tidak apa-apa Bang, doa, semangat dan dukungan yang Abang berikan telah menjadi kekuatan untuk Adik.  Adik berangakat dulu ya Bang, jangan lupa sebelum bekerja Abang harus berdoa.”
“Hati-hati di jalan Adikku sayang, Abang akan selalu mengingat pesanmu, nanti kita sambung lagi ya telponnya.”

 Dengan semangat Aku melangkahkan kakiku pergi untuk menghadiri wawancara pekerjaan. Sesampainya di tempat wawancara aku harus menunggu lebih dari 3 jam untuk dipanggil. Aku bertemu dengan seorang wanita yang seusiaku, kami pun berbincang-bincang sambil menunggu giliran. Akhirnya, namaku dipanggil juga dan Aku mulai diwawancara. Setelah lama dalam ruangan dingin itu, Aku pun diterima bekerja, dan malam nanti Aku diminta untuk mulai bekerja. Aku pun bergegas pulang untuk menyiapkan diri.
Aku mengirim pesan kepada Abang, agar Abang tidak mencariku ketika pulang kerja nanti. Aku memberitahunya bahwa Aku telah diterima bekerja.

“Bang, hari ini Adik mulai bekerja. Dihari pertama ini Adik diminta untuk kerja malam.”
“Lho kok baru pertama bekerja sudah masuk malam Dik, terus nanti Adik diantar siapa, tanyanya.”
“Adik kurang tahu Bang, mungkin sangat membutuhkan karyawan Bang, Adik berangkat dengan teman Adik Bang.”
 “ Iya sudah Dik, jaga diri baik-baik ya Dik.”
“ Iya Abang.”
Malam telah tiba saatnya Aku bersiap-siap untuk bekerja, ada rasa takut di dalam hati. Sesampainya di gerbang betapa terkejutnya Aku diperiksa oleh satpam, dan Aku terpaksa harus melepaskan kerudung yang ada dikepalaku. Jati diriku selama ini, Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah kebijakan perusahaan. Aku meninggalkan tidurku, Aku meninggalkan harga diriku untuk bekerja di tempat itu. Keesokan harinya Aku memikirkan kembali, apakah Aku harus melanjutkan pekerjaan itu atau Aku harus berhenti. Karena, Aku merasa tidak nyaman dan tidak cocok. Sesampainya di rumah Aku menghubungi Abang, untuk meminta pendapatnya.
“Bang, kalau seadainya Adik keluar dari pekerjaan itu bagaimana.”
“ Kenapa Dik, ada masalah.”
“Iya Bang, Adik diminta melepas jilbab, itu adalah hal yang sulit menurut Adik Bang.”
 “Kalau Adik tidak nyaman, jangan diteruskan Dik, Abang juga kawatir kalua harus melepaskan Adik berangkat bekerja sendiri.”
“Iya Bang, Adik memutuskan akan berhenti saja.” “Adik istrirahat sekarang, semalam sudah bekerja kan.”
“ Iya Bang.”

Satu minggu berlalu, Aku mulai merindukannya. Namun, Dia jarang sekali memberikan kabar. Karena Dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Bulan Desember akan segera berakhir, dan  akan ada tahun baru. Pertama kalinya Aku merasa kesepian.
Tiga bulan berlalu aku menunggu kabar darinya. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. Aku perlahan membukanya. Betapa terkejutnya Aku ternyata orang yang mengetuk pintu itu adalah Dia, Abangku tersayang. Karena rasa rindu yang tidak tertahan lagi akhirnya Aku memeluknya dan Air mataku menetes kebajunya.
“ Ini benar-benar dirimu Bang, Aku tidak percaya, apakah Aku mimpi.”
“Ini benar Abang Dik, Abang sudah datang.”

Setelah berbincang-bincang lama Abang mengajakku jalan-jalan untuk melepaskan rindu dan membahagiakan Aku. Terkadang perpisahan itu memang sulit dan menyakitkan. Namun, di dalamnya terselip kebahagiaan yang sesunggunya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANALISIS PUISI IBU KARYA D. ZAWAWI IMRON

ANALISIS PUISI IBU KARYA D. ZAWAWI IMRON A.     Biografi penulis Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, ...