Mei Linda Anggraini
Angin Bulan
Desember
Cinta yang
dipisahkan oleh jarak memang menyakitkan. Cemburu, rindu, dan kesepian selalu
menghampiri. Pagi itu aku sedang duduk di teras rumah sambil menunggu Dia
datang. Tidak berselang lama dia pun datang ke rumah dengan membawa makanan
yang aku sukai.
"Abang, dari mana," tanya ku.
"Abang habis membelikan makanan kesukaan mu Dik,
"jawabnya.
"Kenapa Abang repot-repot bawakan makan untuk
Adik."
"Tidak apa-apa Dik."
"Silahkan
masuk Bang."
Akhirnya kami
pun masuk ke dalam rumah. Kami berbincang-bincang dan bercanda. Beberapa menit
kemudian suasana menjadi hening dan sepi.
"Dik, Abang ingin membicarakan suatu hal yang
penting ke Adik, Adik jangan marah ya."
Hati ku rasanya
gemetar tidak karuan. Sebuah tanya terucap dari bibirku.
"Abang, mau tanya apa ke Adik."
"Adik, kalau seandainya Abang pergi jauh dari
Adik, apakah Adik bersediah menunggu Abang."
"Memangnya Abang mau ke mana Bang, kok bilang
seperti itu."
"Adik, Abang kan sudah tidak bekerja lama, Abang
di ajak oleh tetangga Abang bekerja tapi...."
Abang terdiam dan memikirkan sesuatu. Aku pun
bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan oleh Abang. Aku pun bertanya
kepadanya.
"Ada apa Bang, mengapa Abang terdiam."
"Begini Dek, Abang mendapatkan pekerjaan di luar
pulau Jawa."
Aku terdiam
tanpa kata. Dia Melihat mataku yang berkaca-kaca dan penuh dengan tanya.
"Abaang mau ke mana?"
"Abang harus bekerja di Kalimantan, Dik."
"Haaaa, Kalimantan Bang."
"Iya Dik, kamu tahu sendiri Abang menjadi
penganguran sejak lama, Abang ingin membiayai keluarga Abang Dik."
Air mata
perlahan menetes di pipiku, dan Dia pun menghapus setiap butiran air mata yang
mengalir. Rasa takut kehilangan pada saat itu jelas terasa. Aku tidak ingin
jauh darinya. Namun, Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mau tidak mau aku harus
menerima keputusannya, karena Dia memiliki tanggung jawab sebagai tulang
punggung keluarga.
" Abang, berapa lama di Kalimantan."
"Sekitar tiga bulan, Dik"
Dengan terpaksa
Aku harus mendukungnya. Agar Dia dapat memperbaiki perekonomian keluarganya.
"Pergilah Bang, Adik izinkan Abang untuk pergi,
asalkan Abang berjanji kepada Adik."
"Berjanji apa Dik."
" Abang harus berjanji selalu setia pada
Adik."
"Tentu saja Dik, Abang hanya mencintaimu. Di mana
pun Abang berada, Adik selalu ada di
hati Abang."
"Abang jangan bercanda Bang, Aku takut Abang akan
melupakan janji Abang."
Dia pun memegang
tanganku. Matanya penuh kesungguhan dan berusaha meyakinkanku.
" Abang
janji Dik, selama di sana Abang akan menelpon dan mengirim pesan ke Adik.
Pada waktu itu
Wa, BBM, atau yang lainnya masih belum ada yang ada hanya mengirim pesan dan
telepon. Dia memegang taganku dan menatap mata ku dengan penuh kasih. Dia
berjanji tidak akan mencintai perempuan lain di sana. Setelah berhasil
meyakinkan ku Dia pun berpamitan pulang
karena hari senakin sore.
" Sudah sore Dik, Abang pulang dulu ya."
"Iya Bang, terimakasih ya Bang sudah dibawakan
makanan."
Jarak rumah kami
tidaklah jauh. Kami berdua sama-sama tinggl di desa, Rt, dan Rw yang sama. Yang
membedakan hanya nomor Rumah saja. Beberpa hari kemudian tepatnya di Bulan
Desember perpisahan itu terjadi. Hati ku berkata agar Dia tidak pergi. Namun, piliranku berkata lain. Pikiranku
mengatakan agar membiarkannya pergi untuk memeperbaiki perekonomiannya. Pagi,
sekitar pukul 07.00 sebuah sepeda motor terparkir di sebelah rumah. Seseorang
mengetuk pintu rumahku. Mendengar pintu rumah yang diketuk Aku pun membukanya.
Betapa terkejutnya Aku yang ada di depan pintu itu adalah Abang.
" Abang, kenapa Abang ke sini tidak bilamg-bilang."
"Iya Dik, Abang ke sini untuk pamit."
" Abang jadi pergi hari ini?" Tanyaku.
"Iya Dik, tiket Abang sudah siap dan pukul
09.00Abang akan berangkat."
" Tanpa kata-kata aku memeluknya."
Suatu hal yang
paling menyakitkan adalah melepaskan orang yang kita cintai pergi jauh.
Perpisahan sudah di pintu. Tanpa sadar ketika aku melihatnya air mata ku
menetes. Rasa takut tidak bisa di tutupi lagi. Namun, Dia berusaha menenangkan
hatiku yang sedang dirundung ketakutan.
" Sudah
Dik, kalau sedih, terus Abang tidak akan bisa tenang untuk meninggalkanmu
sendiri."
Perlahan Aku
menenangkan diriku. Aku berusaha tersenyum di depannya, walaupun sebenarnya
hatiku terluka.
" Adik akan
berusaha tabah Bang, Abang jaga diri baik-baik di sana, jangan lupa
selalu memberikan kabar ya Bang."
" Iya, Adikku tersayang."
"Abang janji akan terus memberikan kabar ke
Adik."
Waktu begitu
cepat berlalu. Tiba saatnya Dia harus pergi. Aku peluk rapat-rapat tubuhnya,
sambil menagis di dadanya. Setelah pelukan perpisahan itu Dia pin meminta izin
untuk berangkat.
" Abang berangkat ya Dik, jaga dirimu baik-baik
selama Abang pergi. Abang tidak bisa jagain Adik, untuk beberapa bulan ke
depan."
"Iya Abang, Adik akan jaga diri baik-baik. Abang
juga jaga diri, jaga kesehatan, dan yang terutama jaga kesucian cinta kita ya
Bang."
Dia tersenyum mendegar perkataanku. Akhirnya Dia pergi
dengan sepedanya. Aku berikan senyuman yang sebenarnya menandakan duka.
Perlahan jejaknya mulai terhapus angin. Aroma tubuhnya, suaranya, dan wajahnya
samar oleh jalan. Ku melambaikan tangan dan berdoa dalam hati
"Semoga kita bisa bertemu lagi Bang."
Angin bulan Desember
benar-benar telah membawanya pergi jauh. Dia orang yang ku kasihi telah jauh
dariku. Duniaku terasa sepi ketika, jejaknya mulai terhapus oleh angin. Angin bulan Desember membawanya pergi ke
tempat asing. Meninggalkan duka bagi orang-orang yang menyayaginya. Ibu,
kakak,adik, dan kekasihnya. Setelah ke pergiannya Aku duduk termenung sendiri.
Suara adzan telah berkumandang. Aku mengambil mukena dan sajadah bergegas ke
musholah untuk sholat. Aku berjudud di atas sajadah biru di bawah langit-langit
mushalah. Ku tadahkan kedua tangan dan berdoa semoga kekasihku dijauhkan dari
bahaya.
Hari sudah
semakin malam. Namun, kabarnya juga belum terdegar. Hati ku merasa gunda
gulana. Memikirkan apakah Dia sudah samapai di tempatnya dengan selamat. Lima
menit kemudian terdengar suara telepon dari hpku. Itu adalah Dia. Yah..orang
yang sedang ku cari. Ku tekan tombol hijau dan suaranya terdengar dengan indah.
"Assalamualaikun Adik."
"Waalaikum salam Abang."
"Abang sudah sampai Dik."
" Abang kok baru ngasih kabar. Abang dari
mana?"
'Adik sangat kawatir Bang."
'Maaf, Adikku sayang, Abang baru sampai di tempat,
tempat kerjanya cukup jauh dari kota.”
“Iya Abang, Abang cepat telpon Ibu, takutnya Ibu
kawatir.”
“Sudah Dik, tadi Abang sudah telepon Ibu.”
“Abang mandi dulu sana, biar baadan Abang segar kembali.”
“Iya Adik, Abang mandi dulu ya, Abang tutup
telponnya nanti kita sambung lagi.”
Baru pertama kali Aku merasa separuh hatiku pergi.
Suaranya masih terdengar jelas di ruangan ini. Sudah saatnya Aku harus sadar
bahwa Dia telah pergi untuk bekerja. Semuannya demi kebaikan hidupnya dan
kebaikanku. Aku terpaksa menahan tangis ketika berbincang dengannya.
Keesokan harinya, Aku mendapat panggilan untuk
wawancara kerja di pabrik roti. Aku juga ingin mencari pekerjaan sambil
mengumpulkan uang untuk melanjutkan Pendidikan S1. Waktu itu juga Dia tengah bersiap untuk
kerja. Sebelum bekerja Dia menyempatkan waktu untuk menelponku.
“Selamat pagi Adikku sayang.”
“Selamat pagi Abangku sayang, apakah Abang sudah
siap-siap bekerja, tanyaku.”
“ Abang baru
mulai bekerja pukul 08.00 Dik.” “ Hari ini Adik ada wawancara pekerjaan Bang,
doain Adik ya Bang.”
“ Wawancara di mana Dik, terus sama siapa, tanyanya
dengan heran.”
“Wawancara di pabrik roti Bang, Adik wawancara
sendiri.”
“Maafin Abang ya Dik, Abang tidak bisa mengantarmu,
Abang hanya bisa mendoakanmu dari jauh.”
“Tidak apa-apa Bang, doa, semangat dan dukungan yang
Abang berikan telah menjadi kekuatan untuk Adik. Adik berangakat dulu ya Bang, jangan lupa
sebelum bekerja Abang harus berdoa.”
“Hati-hati di jalan Adikku sayang, Abang akan selalu
mengingat pesanmu, nanti kita sambung lagi ya telponnya.”
Dengan semangat
Aku melangkahkan kakiku pergi untuk menghadiri wawancara pekerjaan. Sesampainya
di tempat wawancara aku harus menunggu lebih dari 3 jam untuk dipanggil. Aku
bertemu dengan seorang wanita yang seusiaku, kami pun berbincang-bincang sambil
menunggu giliran. Akhirnya, namaku dipanggil juga dan Aku mulai diwawancara.
Setelah lama dalam ruangan dingin itu, Aku pun diterima bekerja, dan malam
nanti Aku diminta untuk mulai bekerja. Aku pun bergegas pulang untuk menyiapkan
diri.
Aku mengirim pesan kepada Abang, agar Abang tidak
mencariku ketika pulang kerja nanti. Aku memberitahunya bahwa Aku telah
diterima bekerja.
“Bang, hari ini Adik mulai bekerja. Dihari pertama ini
Adik diminta untuk kerja malam.”
“Lho kok baru pertama bekerja sudah masuk malam Dik,
terus nanti Adik diantar siapa, tanyanya.”
“Adik kurang tahu Bang, mungkin sangat membutuhkan
karyawan Bang, Adik berangkat dengan teman Adik Bang.”
“ Iya sudah
Dik, jaga diri baik-baik ya Dik.”
“ Iya Abang.”
Malam telah tiba saatnya Aku bersiap-siap untuk
bekerja, ada rasa takut di dalam hati. Sesampainya di gerbang betapa
terkejutnya Aku diperiksa oleh satpam, dan Aku terpaksa harus melepaskan
kerudung yang ada dikepalaku. Jati diriku selama ini, Aku tidak bisa berbuat
apa-apa karena itu adalah kebijakan perusahaan. Aku meninggalkan tidurku, Aku
meninggalkan harga diriku untuk bekerja di tempat itu. Keesokan harinya Aku
memikirkan kembali, apakah Aku harus melanjutkan pekerjaan itu atau Aku harus
berhenti. Karena, Aku merasa tidak nyaman dan tidak cocok. Sesampainya di rumah
Aku menghubungi Abang, untuk meminta pendapatnya.
“Bang, kalau seadainya Adik keluar dari pekerjaan itu
bagaimana.”
“ Kenapa Dik, ada masalah.”
“Iya Bang, Adik diminta melepas jilbab, itu adalah hal
yang sulit menurut Adik Bang.”
“Kalau Adik
tidak nyaman, jangan diteruskan Dik, Abang juga kawatir kalua harus melepaskan
Adik berangkat bekerja sendiri.”
“Iya Bang, Adik memutuskan akan berhenti saja.” “Adik
istrirahat sekarang, semalam sudah bekerja kan.”
“ Iya Bang.”
Satu minggu berlalu, Aku mulai merindukannya. Namun,
Dia jarang sekali memberikan kabar. Karena Dia harus menyelesaikan
pekerjaannya. Bulan Desember akan segera berakhir, dan akan ada tahun baru. Pertama kalinya Aku
merasa kesepian.
Tiga bulan berlalu aku menunggu kabar darinya. Tiba-tiba
ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. Aku perlahan membukanya. Betapa
terkejutnya Aku ternyata orang yang mengetuk pintu itu adalah Dia, Abangku
tersayang. Karena rasa rindu yang tidak tertahan lagi akhirnya Aku memeluknya
dan Air mataku menetes kebajunya.
“ Ini benar-benar dirimu Bang, Aku tidak percaya,
apakah Aku mimpi.”
“Ini benar Abang Dik, Abang sudah datang.”
Setelah berbincang-bincang lama Abang mengajakku
jalan-jalan untuk melepaskan rindu dan membahagiakan Aku. Terkadang perpisahan itu
memang sulit dan menyakitkan. Namun, di dalamnya terselip kebahagiaan yang
sesunggunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar