Teks Cerpen
Sorot Mata Syaila
karya M. Shoim Anwar
Di Bandara
Internasional Abu Dhabi, pukul satu dini hari, detak jantungku makin kencang.
Pipi perempuan itu perlahan-lahan menyentuh pundakku. Terasa makin dekat dan
hangat. Mulanya dia masih berusaha menegakkan kepalanya kembali beberapa kali,
tapi makin lama kesadarannya makin menipis. Pipi itu akhirnya benar-benar
menempel dengan pasti. Sebuah penyerahan yang lembut. Ujung hijabnya menyentuh
hidungku. Terasa ada aroma parfum Alfa Zahrah. Gaun panjang terusan warna hitam
yang dikenakan, abaya, ikut meluruh ke tubuh
kiriku.
Aku tak berani bergerak. Ada baiknya berdiam agar dia tak terbangun
dengan tiba-tiba. Ini pasti di luar kesadarannya. Malam telah melarut dan payah
pun membalut. Hembus napasnya terdengar makin teratur. Tangan perempuan itu
menyilang di pangkuannya. Lengan bajunya mengingsut naik. Bulu-bulu panjang
tampak tumbuh merebah di lengan. Kulitnya bersih dan cerah membuat bulu-bulu
itu tampak dari pangkal tumbuhnya hingga ujung. Sementara kuku-kukunya dipotong
agak meruncing, warnanya merah muda seperti buah kurma menua di pohonnya.
Di negeri Uni Emirat Arab ini aku mesti berganti pesawat. Enam jam para
penumpang harus menanti. Penerbangan masih harus kutempuh sekitar sembilan jam
lagi dengan maskapai Etihad Airways nomor penerbangan EY 474. Jarak masih
membentang sekitar 5.594 km lagi. Para penumpang, baik yang transit maupun
baru, memenuhi lantai dua. Mereka menanti jadwal masing-masing. Kursi-kursi
telah penuh. Sebagian penumpang, sepertinya para pembantu rumah tangga, duduk
di lantai. Perempuan yang bersandar di pundakku makin nyaman dalam tidurnya.
Beberapa orang sepertinya tersenyum ketika melihat pemandangan itu.
Aku duduk di deretan kursi menghadap ke Sky Bar dan gate 7-8. Lorong
menuju ke toilet ada di depan sana. Perempuan itu mulanya mondar-mandir mencari
tempat duduk sambil menyeret koper kecil warna cokelat. Sudah beberapa kali dia
lewat sambil melihat tempat duduk di dekatku. Kebetulan kursi di sebelah kiriku
agak longgar. Aku merasa harus berbagi. Akhirnya aku mengingsut dan
mempersilakannya duduk.
Awalnya aku merasa ragu. Maklum di belahan dunia Arab antara laki-laki
dan perempuan umumnya dipisahkan dengan ketat. Tapi ini di Abu Dhabi, bukan
Kota Suci Makkah atau Madinah yang memerlukan waktu sekitar dua jam dengan
pesawat ke sana. Meski awalnya aku tak yakin, perempuan itu akhirnya duduk di
sebelahku. Aku membantu menata koper di depannya.
“Syukran,”
dia mengucapkan terima kasih.
Beberapa
saat aku mencoba menyesuaikan. Laki-laki tua berjenggot panjang di sebelah
kirinya juga mengingsutkan duduknya. Sementara lelaki berkulit gelap di sebelah
kananku tetap menyandarkan kepalanya di kursi, mendongak dengan mata tertutup
dan mulutnya membuka seperti buaya memasang perangkap agar ada mangsa yang
masuk. Orang-orang yang duduk ber deret di kursi depan sudah tidak lagi
memperhatikan. Kaki mereka kembali berselonjor. Beberapa saat situasi pun
tenang kembali.
“Ismii Matalir,”
aku memperkenalkan na ma ku. Bukan nama resmi, tapi nama panggilan waktu kecil.
Perempuan itu memandangku.
Mungkin dia merasa aneh mendengarnya.
“Maasmuka?
Mat…alir?”
Aku mengangguk.
“Ana min Indonesia,”
aku melanjutkan. Dia tersenyum dan manggut-manggut. Beberapa saat aku masih
memandang ke arahnya. Perempuan muda itu berhidung mancung dan beralis tebal.
Kulit mukanya
cerah dengan bibir mengilat
semu merah. Bulu-bulu lembut di atas bibirnya menguat meski tampak samar.
“Ilaa ayn
tadzhab?” aku bertanya ke mana dia pergi.
“Pakistan.”
Kami
saling tersenyum. Koper di depannya aku rapikan lagi agar tidak menghalangi
orang lewat. Kami berbasa-basi beberapa saat. Dia lalu melihat-lihat telepon selulernya,
kemudian menoleh ke arahku kembali.
“Wa anti
maasmuki?” aku tanya namanya, meski sadar itu terlalu bernafsu. Dia
tak segera menjawab. Aku tetap memandangnya.
“Syaila,” jawabnya
kemudian. Nama itu terdengar indah di telingaku. Artinya adalah kobaran api.
Perempuan
dari segala penjuru dunia memang boleh datang ke Abu Dhabi. Mereka tidak
sedikit yang memakai celana pendek dan kaus oblong. Agak kontras dengan mereka
yang memakai cadar. Perempuan muda berhijab dengan wajah terbuka juga lazim dijumpai.
Para pramugari milik negeri ini malah memakai span ketat di atas lutut dan
baret dengan rambut terbuka. Meski tidak bercadar, pakaian Syaila bagiku sudah
nyaris sempurna menutup tubuhnya.
Syaila
menanyakan nama maskapai dan kota tujuanku. Dia tahu kalau pesawatku akan take off lebih dulu dibanding dia. Lama-lama
pembicaraan kami mulai jarang. Bukan bahan omongan yang mulai habis, tapi
bahasa Arabku yang kedodoran sehingga tak bisa mengungkapkan apa yang akan
kukatakan. Rasa kantuk mulai menyerang. Detik-detik inilah aku mengetahui
Syaila juga mulai di se rang kantuk.
Sekarang
aku berpikir persoalanku sendiri. Aku berharap penerbanganku terlambat, bila
perlu ditunda dalam waktu yang panjang. Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah
Suci dan ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk
memperlambat proses hukum sambil mencari terobosan lain, termasuk sengaja tidak
hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik.
Perkara
ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak,
juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham
perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa
“menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender
yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan
telah masuk dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang
negara juga telah disebut.
Ketika
beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian, aku dapat bocoran bahwa statusku
yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi tersangka. Ada yang mengatur agar
statusku tidak bocor ke publik. Pada saat itulah aku dengan cepat melarikan
diri keluar negeri. Tentu saja dengan beberapa skenario yang sudah kupersiapkan
sejak kasusku mulai diungkap. Semua keluarga sudah diskenario agar satu suara,
bila perlu bungkam.
Nanti,
ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku
dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di
kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak
imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita
ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya
punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung
kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk
di sel.
Bagiku,
pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit
ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita
dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi
ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau
bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti
dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak
tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
Pengacara
yang kusewa dengan harga mahal pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar
sesuai permintaanku, termasuk mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit,
dia telah kutaburi remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati
rontokan biskuit dia bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang
sangat setia melindungi tuannya.
Kembali
aku melihat-lihat ke sekitar. Arsitektur bandara ini membuatku serasa bernaung
di bawah pohon kurma raksasa. Pilar tunggal yang besar berada di tengah dari
lantai satu hingga lantai dua. Ujung pilar itu mekar menyerupai daun-daun kurma
dan sekaligus membentuk langit-langit secara melingkar dengan motif ornamen
segi enam. Stan-stan penjual makanan ringan, minuman, dan sovenir juga ditata
melingkar. Di bawah pilar dipajang dagangan sebangsa parfum, alat kecantikan,
jam tangan, serta perhiasan dengan harga mahal.
Malam
telah bergeser ke dini hari. Orang-orang seperti membeku di kursinya. Kepala
Syaila bergerak-gerak. Sepertinya perempuan itu mulai terbangun. Terdengar
desah napasnya disertai lenguh yang lembut. Perlahan dia mengangkat kepala dari
pundakku. Dia berkedip-kedip melihatku agak lama. Seperti meyakinkan sesuatu
yang telah lama hilang. Ekspresinya datar. Aku pun menatapnya. Tanpa bicara
apa-apa.
Tangan
kanan Syaila perlahan merambat ke pegangan koper. Sambil tetap melihatku, dia
bangkit. Matanya berkedip-kedip. Koper itu didorongnya ke depan, lalu
melangkah. Beberapa detik setelah itu dia berhenti. Pandangannya masih
diarahkan kepadaku. Syaila mengangguk. Mungkin sebagai isyarat pamit. Aku pun
mengangguk. Posisi kopernya berganti di belakang. Perempuan itu melangkah lagi.
Ada rasa kehilangan melepas kepergiannya.
Baru
beberapa langkah berjalan, Syaila kembali membalikkan pandangan. Dia
mengangguk. Aku membalas. Tapi dia tak segera beranjak. Seperti ada isyarat
lain untukku. Aku pun berdiri. Syaila melangkah lagi. Ada kegamangan dalam
diriku. Kali ini aku mulai menangkap maksudnya saat perempuan itu kembali
menoleh dan mengangguk dua kali. Aku berjalan ke arahnya. Syaila melanjutkan
langkah ketika mengetahui aku mengikuti. Terasa ada dorongan yang makin kuat.
Aku meniti di belakang langkahnya.
Syaila
menuruni tangga ke lantai satu. Aku membuntut. Dia berbelok ke kiri, menuju ke
lorong yang makin sepi karena stan-stan di kanan kiri semuanya tutup. Suasana
bertambah senyap. Sesekali perempuan itu menoleh ke arahku dan mengangguk.
Sebuah isyarat agar aku terus mengikuti. Lampu-lampu makin meredup. Bunyi
sepatu perempuan itu makin jelas. Detaknya memantul ke dinding-dinding lorong
yang makin panjang. Abaya hitam yang dikenakan membuatnya makin samar dalam
keremangan.
Sampai di
pertigaan Syaila berhenti sejenak. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Ketika jarak
antara kami tinggal dua tiga langkah, perempuan itu berbelok ke kanan dan
mempercepat langkahnya. Aku seperti tersedot mengikuti arusnya. Ternyata ini
bukan lantai terakhir. Di ujung lorong ada tangga ke bawah. Dengan langkah
makin cepat Syaila meluncur turun. Udara terasa makin pengap dan bau apak
mengambang. Lantai tak lagi rata. Di sana-sini ada bekas genangan air.
Kesenyapan hampir sempurna membalut. Detak sepatu itu terdengar makin cepat.
“Syaila…,” aku memanggil.
Dia menoleh sejenak dan mengangguk. Langkahku makin cepat karena harus
mengikutinya. Suasana makin meredup, tinggal satu dua lampu yang tersisa di
kejauhan sana. Ada kelepak melintas di depanku. Tubuh Syaila makin samar
dibalut remang. Seperti ada kekuatan yang menyedot langkahku untuk terus
mengalir. Pantulan detak sepatu Syaila makin menggema dari sudut ke sudut.
Lorong ini terasa makin sempit dan berkelok-kelok menyerupai labirin.
“Syaila…,” aku menyeru.
Tubuh perempuan itu makin menghablur. Yang kudengar kembali adalah gema suaraku
yang memantul-mantul makin keras. Lorong semakin berliku-liku. Syaila tampak
seperti bayangan melayang-layang dalam remang. Tiba-tiba ada kabut dingin yang
datang. Kembali kuseru nama Syaila. Dalam keremangan samar-samar tampak dia
menoleh dan berhenti. Aku melihat bola mata perempuan itu merona dalam
kegelapan, berpendar mengeluarkan cahaya kebiruan. Seperti sepasang mata kucing
hitam saat di sorot cahaya di kegelapan.
Kembali
aku menyeru. Tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Sorot sepasang mata
Syaila makin kuat menembus kabut. Seperti juga seekor kucing hitam, sosok itu
melayang dan menyambarku. Aku terjatuh. Tengkurap di lantai lorong yang basah.
Ada bunyi kelepak yang datang menyerbu. Makin riuh di telingaku. Aku membeku.
Beberapa
saat kemudian lamat-lamat ganti terdengar suara merintih-rintih memanggilku.
Aku berusaha merayap mendekat. Kata-kata “papa” yang disuarakan makin jelas.
Sepertinya ada beberapa suara yang memanggilku. Semuanya merintih dengan nada
kesakitan.
Lorong
ini bukan saja basah, tapi semakin becek dan pesing. Ada tetesan air dari pipa
di langit-langit. Aku merayap terengah-engah. Tampak seberkas cahaya di sana.
Sampai di tikungan lorong aku mendongak. Cahaya menyorot ke sana. Ah, aku
terkejut! Aku melihat istri pertama beserta kedua anakku digantung. Leher
mereka dijerat, kaki dan tangannya diserimpung seperti kepompong. Di sebelah
mereka aku juga melihat hal yang sama. Istri keduaku beserta dua anaknya juga
mengalami hal serupa. Dua orang istri dan empat orang anakku bergelantungan tak
berdaya. Seperti menunggu ajal yang segera tiba, mereka merintih-rintih
kesakitan.
Aku
berusaha meyakinkan diri. Ini bukan mimpi atau sekadar ilusi. Di lorong
terdalam Bandara Internasional Abu Dhabi, aku tak berdaya menolong istri-istri
dan anak-anakku yang sekarat menghadapi maut. Mereka digantung seperti kambing
habis disembelih untuk dikuliti. Barangkali ini adalah ujung dari hidup kami semua.
Aku ingin meronta, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kaki dan tanganku pun
terserimpung di lantai lorong yang becek dan pesing.
Lalu di manakah Syaila?
Perempuan itu telah melenyap bersama gelap. Sosoknya menghilang tanpa bayang.
Sebagai kucing hitam, dia membenam dalam kelam. Aku tersuruk di sini. Menatap
kedua istri dan empat anakku yang hampir beku. Seluruh tubuhku juga kaku dan
beku. Kelepak itu pun datang kembali bertubi-tubi, terbang mengitari tubuhku
untuk dimangsa inci demi inci. ***
Abu
Dhabi-Surabaya, 1 Januari 2018
KRITIK
SASTRA PADA CERPEN SOROT MATA SYAILA
A.
Biografi Penulis
M. Shoim Anwar adalah
sastrawan dan dosen di Surabaya, doktor bidang pendidikan bahasa dan sastra.
Buku kumpulan cerpennya, antara lain, Oknum, Musyawarah Para Bajingan, Pot
dalam Otak Kepala Desa, Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Asap Rokok di Jilbab
Santi, dan Kutunggu di Jarwal.
B.
Tempat terjadinya peristiwa
Latar
atau tempat peristiwa yang Digambarkan dalam cerpen Sorot Mata Syaila adalah di Bandara Abu Dhabi..
C.
Alur cerita
Paragraf pertama cerpen Sorot Mata Syaila mengambarkan bagaimana
keadaan di Bandara Abu Dhabi pada waktu tengah malam. Seorang perempuan
perlahan mendekati pseorang laki-laki dan memegang pundaknya. Semakin lama
perempuan itu semakin mendekat sehingga tubuhnya benar-benar menempel dipundak laki-laki
itu. Secara perlahan perempuan itu tertidur pulas dipundaknya. Ketika ujung
hijabnya menyentuh hidung penulis, tercium bau yang harum dari tubuh wanita itu
yakni, aroma parfum Alfa Zahra. Pakaian panjangnya menutupi bagian tubuh
sebelah kiri laki-laki itu.
Paragraf kedua cerpen Sorot Mata Syaila, mencitrakan tentang Laki-laki
itu terpaksa tidak bergerak agar
perempuan itu tidak terbangun dari tidurnya. Penulis berfikir bahwa pasti
perempuan itu tidak sadar telah tidur dipundaknya. Malam semakin larut dan
Lelah mulai menghampirinya. Suara hembusan nafasnya masih tetap terdengar
tenang. Dan tanpa sadar tanggan perempuan itu berada di pangkuan penulis
sehingga, lengan bajunya naik ke atas. Terlihat tangan yang berkulit putih bersihnya, dan bulu-bulu yang
tumbuh ditangannya. Kulitnya yang putih membuat bulu-bulu tangannya terlihat
sampai e pergelangan tangan. Kukunya yang terawat indah dan diberi warna merah
muda seperti buah kurma menua di pohon membuatnya semakin indah untuk
dilihat. .
Paragraf ke tiga cerpen Sorot Mata Syaila, mengambarkan keadaan
yang terjadi di negri Uni Emirat Arab. Di bandara itu penumpang harus menunggu pesawat
yang kedua. Penumpang pesawat harus menunggu penerbangan berikutnya. Jarak yang
harus ditempuh sekitar Sembilan jam lagi dengan maskapai Etihad Airways nomor
penerbangan EY 474. Jarak masih membentang sekitar 5.594 km lagi. Para
penumpang harus menanti jadwal penerbangannya di lantai dua. Perempuan itu
masih terlihat nyaman dipundak penulis, sehingga banyak orang yang tersenyum
melihatnya.
Paragraf ke empat cerpen Sorot Mata
Syaila , mencitrakan Perempuan itu sedang mencari tempat duduk, dan
laki-laki itu berada dideretan kursi yang menghadap Sky bar dan gate 7-8.
Laki-laki itu melihat perempuan dengan membawa koper kecil yang berwarna
coklat. Karena merasa bahwa perempuan itu tengan mencari tempat duduk, dan
kebetulan di sebelahnya kosong maka, laki-laki itu mempersilahkan perempuan itu
duduk.
Paragraf kelima cerpen Sorot Mata Syaila , Laki-laki itu merasa
takut dan ragu, karena di Arab antar laki-laki dan perempuan umumnya akan
dipisah dan penjagaannya pun akan diperketat, itu adalah peraturan yang hakiki.
Namun, laki-laki itu berfikir kembali. Dia berfikir bahwa ini adalah Abu Dhabi bukan
kota suci Makkah atau Madinah. Akhirnya laki-laki itu mempersilahkan perempuan
itu duduk dan membantu menata kopernya. Lalu perempuan itu mengucapkan
terimakasih dengan menggunakan Bahasa Arab.
Paragraf kelima cerpen Sorot Mata Syaila ,Di tempat itu juga
seorang laki-laki tua yang berjengot duduk di sebelah kiri perempuan itu
sehingga perlahan bergeser. Dan ada juga laki-laki yang berkulit hitam duduk di
sebelah laki-laki itu, dan menyandarkan kepala dipundaknya. Matanya tertutup
dan mulutnya terbuka lebar. Semua orang yang ada disekitar tidak lagi
memperhatikan.Laki-laki itu memperkenalkan dirinya dengan menggunakan
Bahasa Arab. Ketika dia memperkenalkan
Namanya, perempuan itu memandang dengan heran. Dan mereka saling berkenalan
dengan menggunakan Bahasa Arab. Laki-laki itu berasal dari Indonesia dan
perempuan itu berasal dari Pakistan. Mereka saling melempar senyum, dan
laki-laki itu merapikan koper perempuan itu. Tidak berselang lama telepon
perempuan itu berbunyi, dan perempuan itu memandang kea rah laki-laki yang ada
membantunya merapikan koper.
Paragraf keenam cerpen Sorot Mata Syaila , Laki-laki itu
berusaha menanyakan nama perempuan itu dengan menggunakan Bahasa Arab, dan
perempuan itu bersedia memperkenalkan Namanya. Syaila adalah nama perempuan
itu. Di Abu Dhabi mayoritas perempuannya menggunakan baju Panjang, berhijab,
dan bercadar. Namun, masih ada juga yang menggunakan celana pendek dan kaos
oblong. Ada juga perempuan yang berhijab namun, tidak memakai cadar. Begitu
juga dengan pramugari negara, yang menggunakan baju dinasnnya. Syaila, meskipun
dia tidak menggunakan cadar tetapi cara berpakaiannya dapat dibilang sepurnah.
Paragraf ketujuh cerpen Sorot Mata Syaila , Syaila yang
mengetahui bahwa Matalir atau laki-laki itu akan Take out, Syaila menanyakan nama maskapai penerbangannya. Namun,
laki-laki itu tidak bisa berkata apa-apa karena, Bahasa Arabnya masih banyak
yang kurang dimengerti. Ketika rasa katuk menghampiri keduanya, Matalir ingin
penerbangannya ditunda agar memiliki waktu yang cukup lama untuk menghindari
jeratan hukum dan terbebas daripemeriksaan penyelidik. Dengan alasan ingin
melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan berziarah ke bumi nabi.
Paragraf kesembilan cerpen Sorot Mata Syaila , Persoalan itu tidak
hanya melibatkan orang yang bersangkutan namun, juga melibatkan keluarga
seperti istri dan anak-anaknya. Semua keluarganya diperiksa karena diduga
terlibat mendapatkan uang dari hasil korupsi. Seorang temannya yang telah
menjadi terdakwa berusaha keras untuk mendapatkan kebebasan dengan mengelak
semua bukti. Semuanya telah disusun dengan matang dan baik untuk menghindari jeratan
hokum yang menghantui. Semua peristiwa yang terjadi telah dipublikasikan di
media sosial.
Paragraf kesepuluh cerpen Sorot Mata Syaila ,Konspirasi demi
konspirasi dibuat untuk menutupi kejahatan mereka. Bocornya informasi yang
ditetapkan oleh pemerintah membuat para pelaku melarikan diri ke luar negri.
Sebelum mereka pergi siasat demi siasat dibuat untuk mengelabuhi hukum dan
pemerintah. Pada paragraf kesebelas cerpen Sorot
Mata Syaila, digambarkan bahwa ketika berkas pekara sudah dilimpahkan ke
jaksaan maka orang yang terlibat dari korupsi itu akan ditetapkan sebagai
tersangka. Untuk itu laki-laki itu berusaha untuk menghubungi jaringan khusus
yang bekerja di Lembaga peradilan sehingga dia terbebas dari dari KPK dan pergi
ke luar negri.
Paragraf dua belas cerpen Sorot Mata Syaila, mencitrakan laki-laki itu lebih memilih pergi ke
tanah suci untuk ibadah, dari pada harus berpura-pura sakit ketika sedang
menjalani pemeriksaan atau hukuman. Dia
merasa bahwa, dia jauh lebih baik daripada yang lainnya. Karena, mereka ada
yang dirawat di rumah sakit seperti orang mati, ada yang sengaja menabrakkan
diri ketiang listrik, dan pura-pura diare ketika akan disidang. Semua orang
memiliki cara atau taktik sendiri untuk lari dari jeratan hukum. Ketika
wajahnya terdapat pada poster sebagai buronan dia tidak peduli, dia tidak
memperdulikan apa kata orang lain.
Paragraf ketiga belas belas
cerpen Sorot Mata Syaila, mencitrakan
bagaimana pengacara membantu kliennya. Pengacara adalah orang yang mendampingi
para terdakwa yang tengah terlibat oleh kasus. Dia menyewa pengacara yang mahal
untuk membelanya.
Paragraf kempat belas
cerpen Sorot Mata Syaila, mengambarkan
arsitektur dari Bandara Abu Dhabi. Dia
melihat arsitektur di Bandara Abu Dhabi, dia merasa bahwa, bandara ini sebagai
tempat untuk berlindung di bawah pohon kurma yang besar. Ujung pilarnya seperti
daun kurma, dan membentuk motif ornamen. Tempat orang berjualan makanan,
minuman, dan souvenir. Banyak juga yang berjualan parfum dan alat kecantikan
bagi wanita.
Paragraf kelima belas cerpen
Sorot Mata Syaila Malam hari telah
tiba, Syaila perlahan terbangun dan nafasnya terdengar ditelinga laki-laki itu.
perlahan dia mulai mengangkat kepalanya dari pundak laki-laki tersebut. Syaila
menatap laki-laki itu dengan seksama.
Paragraf keenam belas cerpen
Sorot Mata Syaila, mencitrakan
perpisahan anatara Syaila dan laki-laki yang duduk bersamanya. Syaila mulai
beranjak dari tempat duduknya, dia mulai memegang kopernya dan perlahan pergi
menjauhi laki-laki tersebut. Syaila pergi dengan cara mengisaratkan kepalanya.
Dia mengangguk-anggukan kepalanya, dan mulai pergi. Laki-laki itu merasa
kehilangan ketika melihat Syaila pergi.
Paragraf ketujuh belas cerpen
Sorot Mata Syaila, Syaila terus
berjalan, namun, beberapa langkah kemudian Syaila kembali melihat laki-laki
tersebut. Syaila seperti memberikan isyarat kepada laki-laki tersebut. Karena
merasa kwatir melihat Syaila yang terus memandangnya, laki-laki itu pun
berjalan mengikuti Syaila. Setelah melihat laki-laki itu mengikutinya, Syaila
melanjutkan langkah kakinya. Laki-laki itu pun terus mengikuti Syaila.
Paragraf kedelapan belas cerpen
Sorot Mata Syaila, Syaila berjalan
menuruni tangga, dia pergi kesuatu tempat yang sepi. Melihat laki-laki itu
mengikutinya dia terus memandang dan memberikan isyarat kepada laki-laki
tersebut. Itu adalah sebuah isyarat agar laki-laki tersebut terus mengikutinya.
Laki-laki itu terus mengikuti Syaila hingga jejak Syaila mulai kabur karena
kegelapan.
Paragraf kesembilan belas cerpen
Sorot Mata Syaila, Akhirnya Syaila
sampai pada pertigaan dan dia belok ke kanan. dia semakin mempercepat langkah
kakinya. Laki-laki itu pun terus mengikutinya karena rasa penaasaran dengan
sosok Syaila. Pada akhirnya mereka harus melewati suatu jalan yang sempit dan udara
yang semakin pengap dan bau. Di sana-sini ada bekas genangan air, Syaiala
semakin mempercepat langkahnya.
Paragraf kedua puluh cerpen
Sorot Mata Syaila, Laki-laki itu
berusaha untuk memanggil Syaila. Namun, Syaila hanya mengangguk. Laki-laki itu semakin
mempercepat langkahnya. Lorong itu semakin berlikudan laki-laki itu mengalami
kesulitan. Lalu, dia terus memanggil nama Syaila. Syaila semakin jauh dan dia
sesekali menoleh untuk melihat laki-laki tersebut. Matanya yang indah
memancarkan cahayanya di dalam kegelapan lorong itu.
Paragraf kedua puluh satu cerpen
Sorot Mata Syaila, Laki-laki itu
terus berusaha memanggil Syaila. Akan tetapi dia tidak bisa memanggilnya
karena, cahaya mata yang dipancarkan oleh Syaila dalam kegelapan. Laki-laki itu
terjatuh di lantai lorong yang basah. Laki-laki itu mendengar suara kegaduhan
dan dia pun terdiam.
Paragraf dua puluh dua cerpen
Sorot Mata Syaila, Laki-laki itu
mendengar suara seseorang yang sedang kesakitan dan memanggilnya. Mendengar
suara itu laki-laki itu berusaha untuk merayap dan mendekati suara tersebut.
Suara itu memanggil nama “papa”, mendengar dari nadanya mereka sedang merintih
kesakitan.
Paragraf dua puluh tiga cerpen
Sorot Mata Syaila, Betapa terkejutnya
laki-laki itu ketika disampai lorong yang semakin becek dan bau. Dia melihat
istri pertamanya dan kedua anaknya digantung. Leher mereka dijerat, dan kedua
tangannya diikat seperti kepompong. Di sisi lain juga dia melihat istri
keduanya beserta anak keduanya megalami hal yang serupa. Dia melihat dua istri
dan empat anaknya tidak berdaya seperti
menunggu ajalnya dan merintih kesakitan.
Paragraf dua puluh empat cerpen
Sorot Mata Syaila, Laki-laki itu
merasa bahwa itu adalah mimpi dan hanya ilusi. Namun, ketika dia sadar bahwa
itu adalah nyata. Di Bandara Abu Dhabi, di lorong yang sepit itu kedua istrinya
dan keempat anaknya sedang berjuang melawan maut. Mereka seperti hewan yang
akan disembelih. Digantung tanpa ada rasa kemanusiaan.Laki-laki itu berusaha
untuk berteriak akan tetapi dia tidak bisa. Suaranya terhenti pada
tenggorokannya. Dia pasrah, mungkin ini adalah takdir hidupnya.
Paragraf kedua puluh lima cerpen
Sorot Mata Syaila mencitrakan bahwa ,
laki-laki itu berusaha mencari jejak Syaila. Perempuan itu seperti misteri.
Syaila telah menghilang. Laki-laki itu bersembunyi dan menatap kedua istri dan
keempat anaknya yang tergantung.
D.
Kelemahan dan kelebihan
1) Kelemahan
Pada
akhir cerita, tidak dijelaskan apa yang terjadi. Sehingga peneliti
menerka-nerka bagaimana akhir dari cerita dalam cerpen Sorot Mata Syaila.
2) Kelebihan
Ceritanya
sangat menarik, pembaca sangat kagum ketika membaca cerpen sorot mata Syaila.Banyak
sekali pesan moral yang terkandung dalam cerpen Syaila. Cerpen sorot mata
Syaila pernah tersiar disurat kabar “Jawa Pos” pada Minggu 14 Januari 2018.
E. Simpulan
Syaila adalah seorang perempuan yang sangat misterius.
Matanya yang indah membuatnya semakin menarik. Di Bandara Abu Dhabi, tersimpan
banyak sekali keindahan. Namun, disisi lain telah terjadi ketidakadilan. Di lorong
bawah Di Bandara Abu Dhabi, manusia yang
diperlakukan layaknya hewan yang akan disembelih. Seorang laki-laki hanya bisa
melihat kedua istri dan keempat anaknya menghadapi kematian. Dia hanya bisa
mentap dan mendengar jeritan kesakitan orang-orang terkasihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar