Tahi Lalat
Ada
tahil lalat di dada istri pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami.
Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih
sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu
dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain
memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang sedang berbicara. Mereka
manggut-manggut, tersenyum sambil membuat kode gerakan menggelembung di dada
dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda
telah mengerti.
Paragraf
pertama, mengambarkan bahwa seluruh warga telah mendengar kabar tentang, istri
Pak Lurah yang mempunyai tahi lalat di bagian tubuhnya. Perlahan kabar itu
telah menyebar ke telingga masyarakat. Sehinga, banyak orang yang
membicarakannya.
"Awas,
ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!" kata Bakrul memulai pembicaraan
sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.
"Di
sebelah mana?" aku mengorek.
"Di
sebelah kiri, agak ke samping," jawab Bakrul.
"Besar?"
"Katanya
sebesar biji randu."
Mungkin
karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi
kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah
memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi
yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.
Karena
tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol. Teriakan itu memicu yang
lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan tempat aku lewat. Sebenarnya
aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap lurahku, meski waktu pemilihan aku
tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka berteriak, aku mengacungkan jempol
terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin mengejek, teriakan mereka pun
bertambah santer.
Suara
truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan menderu-deru di jalan
depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering dikeluhkan oleh anakku,
Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah dan perangkatnya tak
peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab dan sering keluar
bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.
"Di
luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek
perumahan," aku membuka pembicaraan dengan istri. "Kedekatan yang
gimana lagi?" istriku mendongak. "Bos proyek itu sering datang saat
Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya juga pernah keluar bareng."
Bulan
depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak
Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa
mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.
"Ada
unsur politik juga kayaknya," kataku pada istri.
"Mengapa
istri diikut-ikutkan?" dia mendongak.
"Citra
perempuan lebih sensitif untuk dimainkan."
"Pak
Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri kedua. Andai tetap
dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak begini."
"Bisa
jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu."
"Lo,
Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh
tahun," istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang
sekolah.
Pak
Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang menyangkut istrinya. Kami
memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika yang lewat istrinya.
Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak Lurah, tersenyum dan
menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka membuat isyarat gerakan
gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk ke dada sebelah kiri.
Jujur
kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat,
tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan
mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak
Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu
tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin
gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
"Kalau
tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan," begitulah kata-kata
intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
"Lama-lama
desa ini habis terjual," kataku pada Pak Bayan.
"Habis
gimana?" jawab Pak Bayan enteng.
"Bilang
sama Pak Lurah," aku melanjutkan, "mestinya kehidupan kami diperbaiki
agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual
tanahnya kayak kompeni."
"Kalau
ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja."
"Jadi
kuli dan babu!" aku menyergah.
Aku
yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu
di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah,
dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka
akan menuding sambil berkata, "Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari
sana hingga ke sana. Luaaas sekali...."
Semakin
mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri
Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan
tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas
hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.
Aku
yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin
untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam
dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan
sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya.
Kata-kata 'diam pertanda setuju' hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan
istrinya serbasalah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat
meyakinkan tanpa bukti fisik.
"Apa
tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati Bu Lurah?"
kataku pada istri.
"Untuk
apa?"
"Menanyakan
kepastian ada tidaknya tahi lalat itu."
"Terus
kalau tidak ada mau apa?"
"Ya
biar jelas dong," jawabku pura-pura lega.
"Terus
kalau benar-benar ada?" istriku mengejar lagi.
"Orang-orang
akan puas," aku bergaya manggut-manggut. "Akhirnya mereka kan
berhenti ngrasani."
"Ehmm,
untuk apa!" istriku melengos.
Dari
awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya maksud lebih besar.
Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi lalatnya atau tidak. Di
sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji randu atau sebesar
kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila benar-benar ada, kok
sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat di tempat rahasia
itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan istri Pak Lurah.
Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak Lurah saat
menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.
Siang
yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami
untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku
berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam
berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang
sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak
berkata apa-apa.
Jeep
yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju
terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada
yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu
menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa
pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap
di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Sampai
di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep
tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela
pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.
"Gambarku
bagus, ya?" Laela menyodorkan buku gambarnya yang terbuka.
"Gambar
apa ini?" aku bertanya sambil menerimanya.
"Orang."
Anak
perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang dengan rambut sepundak.
Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan. Bibirnya dibuat merah
menyala.
"Ini
orang laki apa perempuan?"
"Perempuan,"
ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya
dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.
"Terus
titik besar berwarna hitam ini apa?"
"Itu
tahi lalat," jawab anakku enteng.
"Tahi
lalat apa?"
"Tahi
lalat di dada istri Pak Lurah."
"Haaa...??!!!"
aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling
memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba
menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan yang
hari-hari ini kami dengar.
"Ini
tahi lalat di dada istri Pak Lurah..." kembali anakku menuding gambar yang
telah dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.
2017
M Shoim
Anwar, cerpenis dan penulis sastra. Hasil risetnya tentang jejak Soeharto dalam
sastra Indonesia memperoleh banyak apresiasi di kalangan akademisi sastra. Buku
fiksi terkininya Kutunggu di Jarwal (2014)
Rujukan:
[1]
Disalin dari karya M Shoim Anwar
[2]
Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" Minggu 19 Februari
2017
KRITIK SASTRA
DAN ESAI PADA CERPEN TAHI LALAT
KARYA M. SHOIM
ANWAR
A.
Biografi Penulis
M. Shoim Anwar adalah sastrawan dan dosen di Surabaya, doktor bidang pendidikan
bahasa dan sastra. Buku kumpulan cerpennya, antara lain, Oknum, Musyawarah Para
Bajingan, Pot dalam Otak Kepala Desa, Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Asap
Rokok di Jilbab Santi, dan Kutunggu di Jarwal.
B.
Alur cerita
Paragraf pertama, menjelaskan tentang tahi
lalat atau yang diartikan dengan aib. Pada paragraf pertama tersebut
digambarkan bahwa seorang istri pak lurah yang mempunyai tahi lalat. Dan
keberadaan tahi lalat dari istrinya Pak lurah tersebut telah terdengar di
telinga masyarakat. Berita tersebut bagaikan wabah penyakit yang cepat sekali
menyebar. Semua orang merasa sungakn jika membicarakan aib istri pak lurah
tersebut. Sehingga, semua orang mengunakan isyarat atau kode untuk
mengunjingnya.
Bakrul berkata agar rahasia tentang aib ibu
lurah tersebut tidak menyebar luas. Dengan mengunakan isyarat mereka
memngunjingkan aib bu lurah. Semua orang berusaha mencari informasi tersebut.
Semua menanyakan di mana tahi lalat bu lurah. Dan bagaimana bentuknya. Bakrul
menjawab " di sebelah kiri, agak kesamping. Dan memiliki ukuran yang besar seperti biji randu."
Paragraf ke dua, mengambarkan bahwa berita tentang tahi lalat istri pak
lurah telah menyebar luas. Sehingga semua orang tidak lagi membicarakan namun saling memberi kode. Jika seseorang mengacungkan jempol maka
tandanya orang itu telah mengerti dan bagi yang memiliki pertanyaan maka dia
akan berteriak dengan bertanya terus
terang.
Pada paragraf ke tiga, mengambarkan bahwa karna tidak ingin ditanya terus
menerus dia mengancungkan jempol untuk memberi isyarat. Karena, jika itu tidak
dilakukan maka orang tersebut akan berteriak sehingga semua orang akan ke luar.
Dia meras tidak enak jika ibu lurah mendapatkan ejekan atau dijadikan bahan
gunjingan oleh masyarakat. Meskipun demikian dia mempunyai niat untuk mengejek.
Paragraf keempat, mengambarkan keadaan jalan
yang rusak parah. Namun, Pak Lurah dan perangkatnya hanya diam saja. Jalan iyti
rusak cukup parah. Debu-debu bertebaran dan semua orang mengeluhkannya.
Sedangkan Pak Lurah sibuk dengan kepentingannya sendiri yakni mengembangkan
bisnis perumahan.
Paragraf kelima, mengambarkan bahwa tersiar
kabar ledekatan ibu lurah dengan bos peroyek perumaahan. Banyak sekali berita
yang mengabarkan bahwa bos proyek perumahan tersebut sering datang ke rumah pak
lurah ketika pak lurah sedang tidak dirumah. Dan keduannya sering menghabiskan
waktu bersama.
Paragraf keenam, mengambarkan bahwa pemilihan
kepala desa akan segera dilaksanakan. Terdengar berita jika Pqk Lurah akan
mencalonkan menjadi kepala desa untuk
periode berikutnya. Akan tetapi semua orang tidak bisa mencegahnya. Dulu
sebelum menjadi lutah banyak sekali janji-janji yang diberikan. Namun, tak ada
satu pun yang terwujud itu semua hanya omong kosong dan tinggalah sebuah janji.
Unsur politik dikalangan masyarakat kecil pun
sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat kecil. Misalnya ditatanan
desa pada pemilihan kepala desa semua
orang mengunakan unsur politik. Pada kutipan tersebut digambarkan bahwa, istri
pak lurah kemungkinan menjadi korban politik. Karena, citra perempuan lebih
mudah untuk dipermainkan.
Pada paragraf kedelapan, mengambarkan bahwa
banyak orang yang menanyakan status bu lurah. Apakah bu lurah sebelum menikah dengan
pak lurah telah memiliki suami. Namun, pernyataan itu ditepis oleh seseorang.
Dia menjawab bahwa sebelum menikah dengan pak lurah status bu lurah adalah
masih perawan. Dan selisih usia mereka adalah dua puluh tahun.
Pada paragraf ke sembilan, mengambarkan
perbedaan perlakuan antara masyarakat biasa dengan pemimpin. Jika istri seorang
pak lurah mendapatkan masalah dan aib tersebut menyebar luas maka, semua warga
hanya akan memasang muka dua di depan pak lurah dan bu lurah. Mereka semua
hanya akan pura-pura menghormati namun, di belakang pak lurah dan bu lurah
semua orang membicarakannya dengan menggunakan bahasa isyarat
Pada paragraf ke sepuluh, mengambarkan bahwa
selama menjadi kepala desa Pak lurah sering menggunakan cara-cara kotor untuk
mendapat untung. Banyak warga yang kehilangan sawah mereka. Melalui perangkat
desa Bayan semua warga dirayu agar mau menjual tanah dan sawah mereka. Dengan
cara seperti itulah tanah-tanah yang luas dan strategis lenyap dijual. Dan pak
lurah semakin gencar membujuk warga agar mau menjual tanahnya. Seorang pemimpin
yang sangat serakah. Mementingkan kepentingan pribadinya dibandingkan
kepentingan masyarakatnya.
Pada paragraf kesebelas, mengambarkan bahwa
berbagai cara akan dilakukan oleh pak lurah. Mengancam adalah cara satu-satunya
yang dilakukan oleh Pak Bayan agar semua orang mau menjual tanahnya. Warga
sering diancam apabila tidak menjual tanahnya naka, tanah tersebut akan
dipagaru oleh pengembangan perumahan.
Pada Paragraf kedua belas, Seorang berusaha
untuk memberi nasihat. Bahwa desa ini lama- lama akan habis jika keadaan ini
terus berlangsung. Pak Bayan tidak peduli dan acuh tak acuh terhadap keluh
kesah warga. Orang tersebut meminta agar Pak Bayan mau memberi tahu Pak Lurah
untuk merubah caranya dalam memimpin agar rakyat hidup makmur.
Pada paragraf ketiga belas, Seseorang percaya bahwa jika keadaan ini
terus berlangsung. Maka, warga asli daerah itu akan hidup sengsara. Suatu hari
nanti mereka akan kurus, kering karena kelaparan. Mereka hanya bisa menatap
rumah-rumah yang berdiri megah. Mereka hanya bisa mengenang tanah mereka yang
dulunya milik mereka sekarang telah menjadi milik perumahan.
Pada paragraf keempat belas, pemilihan kepala
desa sudah semakin dekat. Tahi lalat atau ain istri Pak Lurah semakin gencar
terdengar. Banyak sekali berita yang tersebar di masyarakat. Berita itu semakin
menjadi-jadi.
Pada paragraf kelima belas, mengambarkan bahwa
sebenarnya Pak Lurah dan Istrinya telah mengetahui berita yang menyebar luas
ada di masyarakat. Namun, mereka hanya diam
untuk menutupi permasalahn yang ada. Mereka berfikir berita itu akan
hilang dengan sendirinya. Akan tetapi pemikiran masyarakat berbeda. Mereka
berfikir jika keduannya diam maka berita itu benar adanya.
Pada paragraf keenam belas, mengambarkan jika
bentuk atau ukuran tahi lalat yang ada di badan bu lurah itu tidak penting.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana berita itu bisa menyebar, dan siapa
yang menyebarkan berita tersebut. Pasti yang menyebarkan berita tersebut adalah
orang terdekat dari Pak lurah dan bu lurah.
Pada paragraf ketujuh belas, mengambarkab
bahwa jalan itu semakin rusak. Truk-truk itu membuat jalan itu semakin rusak.
Debu-debu bertebaran di mana-mana. Semua
orang kesulitan mencaru jalan. Pak Bayan hanya diam melihat keadaan tersebut
dab setelah itu melajukan sepedanya dengan pelan.
Pada paragraf kedelapan belas, mengambarkan
bahwa seorang yang mengendarai jib itu telah menabrak seseorang hinga jatuh ke
parit. orang tersebut terluka hinga berdarah. Siapa pengendara mobil jib tersebut
itu adalah sebuah pertanyaan besar.
Pada
paragraf kesembilan belas, nengambarkan orang yang menjadi korban tabrak lari
tersebut merasa sangat kesal dan bertanya-tanya siapa yang telah menabraknya. Laela
anak dari korban tabrak lari tersebut berlari dan menunjukkan sebuah gambar.
Betapa terkejutnya mereka bahwa Laela mengambar seorang wanita dengan tahi
lalat di dadanya persis dengan berita yang ada di masyarakat yakni aib istri
Pak Lurah yang memiliki tahi lalat di dadanya.
C.
Kelemahan dan kelebihan
1) Kelemahan
Pada akhir
cerita bagaimana nasib Pak Lurah dan Bu Luran tidak digambarkan dengan jelas.
Sehingga, pembaca kurang memahami akhir dari ceritanya.
2) Kelebihan
Cerpen ini dapat
dijadikan sebagai wawasan atau pengetahuan tentang kehidupan orang yang
terlibat dalam dunia politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar