Senin, 23 April 2018

Analisis Cerpen Tahi Lalat


Tahi Lalat
Ada tahil lalat di dada istri pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil membuat kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.

Paragraf pertama, mengambarkan bahwa seluruh warga telah mendengar kabar tentang, istri Pak Lurah yang mempunyai tahi lalat di bagian tubuhnya. Perlahan kabar itu telah menyebar ke telingga masyarakat. Sehinga, banyak orang yang membicarakannya.

"Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!" kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.

"Di sebelah mana?" aku mengorek.

"Di sebelah kiri, agak ke samping," jawab Bakrul.

"Besar?"

"Katanya sebesar biji randu."

Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.

Karena tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol. Teriakan itu memicu yang lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan tempat aku lewat. Sebenarnya aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap lurahku, meski waktu pemilihan aku tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka berteriak, aku mengacungkan jempol terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin mengejek, teriakan mereka pun bertambah santer.

Suara truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan menderu-deru di jalan depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering dikeluhkan oleh anakku, Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah dan perangkatnya tak peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab dan sering keluar bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.
"Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan," aku membuka pembicaraan dengan istri. "Kedekatan yang gimana lagi?" istriku mendongak. "Bos proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya juga pernah keluar bareng."

Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.

"Ada unsur politik juga kayaknya," kataku pada istri.

"Mengapa istri diikut-ikutkan?" dia mendongak.

"Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan."

"Pak Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri kedua. Andai tetap dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak begini."

"Bisa jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu."

"Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh tahun," istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang sekolah.

Pak Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang menyangkut istrinya. Kami memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika yang lewat istrinya. Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak Lurah, tersenyum dan menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka membuat isyarat gerakan gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk ke dada sebelah kiri.

Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.

"Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan," begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.

"Lama-lama desa ini habis terjual," kataku pada Pak Bayan.

"Habis gimana?" jawab Pak Bayan enteng.

"Bilang sama Pak Lurah," aku melanjutkan, "mestinya kehidupan kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni."

"Kalau ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja."

"Jadi kuli dan babu!" aku menyergah.

Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, "Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas sekali...."

Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.

Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata 'diam pertanda setuju' hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serbasalah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.

"Apa tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati Bu Lurah?" kataku pada istri.

"Untuk apa?"

"Menanyakan kepastian ada tidaknya tahi lalat itu."

"Terus kalau tidak ada mau apa?"

"Ya biar jelas dong," jawabku pura-pura lega.

"Terus kalau benar-benar ada?" istriku mengejar lagi.

"Orang-orang akan puas," aku bergaya manggut-manggut. "Akhirnya mereka kan berhenti ngrasani."

"Ehmm, untuk apa!" istriku melengos.

Dari awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya maksud lebih besar. Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi lalatnya atau tidak. Di sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji randu atau sebesar kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila benar-benar ada, kok sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat di tempat rahasia itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan istri Pak Lurah. Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak Lurah saat menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.

Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.

Jeep yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.

Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.

"Gambarku bagus, ya?" Laela menyodorkan buku gambarnya yang terbuka.

"Gambar apa ini?" aku bertanya sambil menerimanya.

"Orang."

Anak perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang dengan rambut sepundak. Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan. Bibirnya dibuat merah menyala.

"Ini orang laki apa perempuan?"

"Perempuan," ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.

"Terus titik besar berwarna hitam ini apa?"

"Itu tahi lalat," jawab anakku enteng.

"Tahi lalat apa?"

"Tahi lalat di dada istri Pak Lurah."

"Haaa...??!!!" aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan yang hari-hari ini kami dengar.

"Ini tahi lalat di dada istri Pak Lurah..." kembali anakku menuding gambar yang telah dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.

2017

M Shoim Anwar, cerpenis dan penulis sastra. Hasil risetnya tentang jejak Soeharto dalam sastra Indonesia memperoleh banyak apresiasi di kalangan akademisi sastra. Buku fiksi terkininya Kutunggu di Jarwal (2014)

Rujukan:

[1] Disalin dari karya M Shoim Anwar
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" Minggu 19 Februari 2017




KRITIK SASTRA DAN ESAI PADA CERPEN TAHI LALAT
KARYA M. SHOIM ANWAR

A.    Biografi Penulis
M. Shoim Anwar adalah sastrawan dan dosen di Surabaya, doktor bidang pendidikan bahasa dan sastra. Buku kumpulan cerpennya, antara lain, Oknum, Musyawarah Para Bajingan, Pot dalam Otak Kepala Desa, Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Asap Rokok di Jilbab Santi, dan Kutunggu di Jarwal.

B.     Alur cerita
Paragraf pertama, menjelaskan tentang tahi lalat atau yang diartikan dengan aib. Pada paragraf pertama tersebut digambarkan bahwa seorang istri pak lurah yang mempunyai tahi lalat. Dan keberadaan tahi lalat dari istrinya Pak lurah tersebut telah terdengar di telinga masyarakat. Berita tersebut bagaikan wabah penyakit yang cepat sekali menyebar. Semua orang merasa sungakn jika membicarakan aib istri pak lurah tersebut. Sehingga, semua orang mengunakan isyarat atau kode untuk mengunjingnya.
Bakrul berkata agar rahasia tentang aib ibu lurah tersebut tidak menyebar luas. Dengan mengunakan isyarat mereka memngunjingkan aib bu lurah. Semua orang berusaha mencari informasi tersebut. Semua menanyakan di mana tahi lalat bu lurah. Dan bagaimana bentuknya. Bakrul menjawab " di sebelah kiri, agak kesamping. Dan memiliki ukuran yang  besar seperti biji randu." 
Paragraf ke dua, mengambarkan bahwa berita tentang tahi lalat istri pak lurah telah menyebar luas. Sehingga semua orang tidak lagi membicarakan  namun saling memberi kode.  Jika seseorang mengacungkan jempol maka tandanya orang itu telah mengerti dan bagi yang memiliki pertanyaan maka dia akan berteriak dengan bertanya terus  terang.
Pada paragraf ke tiga, mengambarkan bahwa karna tidak ingin ditanya terus menerus dia mengancungkan jempol untuk memberi isyarat. Karena, jika itu tidak dilakukan maka orang tersebut akan berteriak sehingga semua orang akan ke luar. Dia meras tidak enak jika ibu lurah mendapatkan ejekan atau dijadikan bahan gunjingan oleh masyarakat. Meskipun demikian dia mempunyai niat untuk mengejek.
Paragraf keempat, mengambarkan keadaan jalan yang rusak parah. Namun, Pak Lurah dan perangkatnya hanya diam saja. Jalan iyti rusak cukup parah. Debu-debu bertebaran dan semua orang mengeluhkannya. Sedangkan Pak Lurah sibuk dengan kepentingannya sendiri yakni mengembangkan bisnis perumahan.
Paragraf kelima, mengambarkan bahwa tersiar kabar ledekatan ibu lurah dengan bos peroyek perumaahan. Banyak sekali berita yang mengabarkan bahwa bos proyek perumahan tersebut sering datang ke rumah pak lurah ketika pak lurah sedang tidak dirumah. Dan keduannya sering menghabiskan waktu bersama.
Paragraf keenam, mengambarkan bahwa pemilihan kepala desa akan segera dilaksanakan. Terdengar berita jika Pqk Lurah akan mencalonkan menjadi kepala desa  untuk periode berikutnya. Akan tetapi semua orang tidak bisa mencegahnya. Dulu sebelum menjadi lutah banyak sekali janji-janji yang diberikan. Namun, tak ada satu pun yang terwujud itu semua hanya omong kosong dan tinggalah sebuah janji.
Unsur politik dikalangan masyarakat kecil pun sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat kecil. Misalnya ditatanan desa  pada pemilihan kepala desa semua orang mengunakan unsur politik. Pada kutipan tersebut digambarkan bahwa, istri pak lurah kemungkinan menjadi korban politik. Karena, citra perempuan lebih mudah untuk dipermainkan.
Pada paragraf kedelapan, mengambarkan bahwa banyak orang yang menanyakan status bu lurah. Apakah bu lurah sebelum menikah dengan pak lurah telah memiliki suami. Namun, pernyataan itu ditepis oleh seseorang. Dia menjawab bahwa sebelum menikah dengan pak lurah status bu lurah adalah masih perawan. Dan selisih usia mereka adalah dua puluh tahun.
Pada paragraf ke sembilan, mengambarkan perbedaan perlakuan antara masyarakat biasa dengan pemimpin. Jika istri seorang pak lurah mendapatkan masalah dan aib tersebut menyebar luas maka, semua warga hanya akan memasang muka dua di depan pak lurah dan bu lurah. Mereka semua hanya akan pura-pura menghormati namun, di belakang pak lurah dan bu lurah semua orang membicarakannya dengan menggunakan bahasa isyarat 
Pada paragraf ke sepuluh, mengambarkan bahwa selama menjadi kepala desa Pak lurah sering menggunakan cara-cara kotor untuk mendapat untung. Banyak warga yang kehilangan sawah mereka. Melalui perangkat desa Bayan semua warga dirayu agar mau menjual tanah dan sawah mereka. Dengan cara seperti itulah tanah-tanah yang luas dan strategis lenyap dijual. Dan pak lurah semakin gencar membujuk warga agar mau menjual tanahnya. Seorang pemimpin yang sangat serakah. Mementingkan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan masyarakatnya.
Pada paragraf kesebelas, mengambarkan bahwa berbagai cara akan dilakukan oleh pak lurah. Mengancam adalah cara satu-satunya yang dilakukan oleh Pak Bayan agar semua orang mau menjual tanahnya. Warga sering diancam apabila tidak menjual tanahnya naka, tanah tersebut akan dipagaru oleh pengembangan perumahan.
Pada Paragraf kedua belas, Seorang berusaha untuk memberi nasihat. Bahwa desa ini lama- lama akan habis jika keadaan ini terus berlangsung. Pak Bayan tidak peduli dan acuh tak acuh terhadap keluh kesah warga. Orang tersebut meminta agar Pak Bayan mau memberi tahu Pak Lurah untuk merubah caranya dalam memimpin agar rakyat hidup makmur.
Pada paragraf ketiga belas, Seseorang percaya bahwa jika keadaan ini terus berlangsung. Maka, warga asli daerah itu akan hidup sengsara. Suatu hari nanti mereka akan kurus, kering karena kelaparan. Mereka hanya bisa menatap rumah-rumah yang berdiri megah. Mereka hanya bisa mengenang tanah mereka yang dulunya milik mereka sekarang telah menjadi milik perumahan.

Pada paragraf keempat belas, pemilihan kepala desa sudah semakin dekat. Tahi lalat atau ain istri Pak Lurah semakin gencar terdengar. Banyak sekali berita yang tersebar di masyarakat. Berita itu semakin menjadi-jadi.
Pada paragraf kelima belas, mengambarkan bahwa sebenarnya Pak Lurah dan Istrinya telah mengetahui berita yang menyebar luas ada di masyarakat. Namun, mereka hanya diam  untuk menutupi permasalahn yang ada. Mereka berfikir berita itu akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi pemikiran masyarakat berbeda. Mereka berfikir jika keduannya diam maka berita itu benar adanya.
Pada paragraf keenam belas, mengambarkan jika bentuk atau ukuran tahi lalat yang ada di badan bu lurah itu tidak penting. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana berita itu bisa menyebar, dan siapa yang menyebarkan berita tersebut. Pasti yang menyebarkan berita tersebut adalah orang terdekat dari Pak lurah dan bu lurah.
Pada paragraf ketujuh belas, mengambarkab bahwa jalan itu semakin rusak. Truk-truk itu membuat jalan itu semakin rusak. Debu-debu bertebaran  di mana-mana. Semua orang kesulitan mencaru jalan. Pak Bayan hanya diam melihat keadaan tersebut dab setelah itu melajukan sepedanya dengan pelan.
Pada paragraf kedelapan belas, mengambarkan bahwa seorang yang mengendarai jib itu telah menabrak seseorang hinga jatuh ke parit. orang tersebut terluka hinga berdarah. Siapa pengendara mobil jib tersebut itu adalah sebuah pertanyaan besar.
Pada paragraf kesembilan belas, nengambarkan orang yang menjadi korban tabrak lari tersebut merasa sangat kesal dan bertanya-tanya siapa yang telah menabraknya. Laela anak dari korban tabrak lari tersebut berlari dan menunjukkan sebuah gambar. Betapa terkejutnya mereka bahwa Laela mengambar seorang wanita dengan tahi lalat di dadanya persis dengan berita yang ada di masyarakat yakni aib istri Pak Lurah yang memiliki tahi lalat di dadanya.


C.     Kelemahan dan kelebihan
1)      Kelemahan
Pada akhir cerita bagaimana nasib Pak Lurah dan Bu Luran tidak digambarkan dengan jelas. Sehingga, pembaca kurang memahami akhir dari ceritanya.
2)      Kelebihan
Cerpen ini dapat dijadikan sebagai wawasan atau pengetahuan tentang kehidupan orang yang terlibat dalam dunia politik.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANALISIS PUISI IBU KARYA D. ZAWAWI IMRON

ANALISIS PUISI IBU KARYA D. ZAWAWI IMRON A.     Biografi penulis Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, ...